Senin, 09 Desember 2013

Artikel huhum perlindungan konsumen



PELANGGARAN HAK KONSUMEN DI BIDANG PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan merupakan modal yang sangat penting untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya pendidikan kita dapat mengetahui banyak ilmu dan informasi. Kita bisa mendapatkan pendidikan moral, kedisiplinan, agama, sosial dan masih banyak lagi yang bisa kita dapatkan. Sebagai peserta didik, baik itu dari siswa sekolah dasar, menengah ataupun jenjang yang lebih tinggi itu semua merupakan konsumen di bidang pendidikan yang harus mendapatkan hak-haknya sebagai konsumen. Adapun hak dan kewajiban konsumen berdasarkan undang - undang perlindungan konsumen yang harus dipenuhi.
Hak - hak konsumen berdasarkan pasal 4 antara lain:
1.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.    hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.    hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.    hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.    hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.    hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.    hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.    hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.    hak - hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban konsumen adalah :
a.     membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.    beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.     membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.    mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Peserta didik atau siswa berhak untuk mendapatkan perlindungan atas haknya sebagai konsumen. Namun sekarang ini banyak terjadi hak - hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha (lembaga sekolah) yaitu:
1.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
Hak inilah yang sering dilanggar oleh penyelenggara pendidikan (lembaga sekolah). Misalnya fasilitas yang kurang memadai di daerah yang terpencil, seperti bangunan yang sudah tidak layak untuk melakukan proses belajar mengajar, atau bangunan yang seadanya, meja dan kursi yang sudah reyot atau rusak masih dipakai, bahkan ada kelas antara yang satu dengan yang lain itu dijadikan satu ruang karena minimnya kelas yang ada, dll. Ini membuat para peserta didik merasa tidak nyaman dalam melakukan aktifitas belajar. Seharusnya lembaga sekolah itu memberikan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga proses belajar mengajar bisa berjalan lancar dan peserta didik atau siswa bisa merasakan nyaman dan aman dalam belajar. Sehingga tidak tertinggal jauh dari pendidikan yang ada di kota. Selain itu kondisi sekolah yang kurang teratur itu menyebabkan semangat para peserta didik itu menurun, sehingga sulit sekali untuk bersaing dengan peserta didik yang ada di kota. Bahkan ada tempat sekolah yang rusak tetapi tidak diperhatikan kondisisnya dan para siswanya saat belajar numpang di rumah tetangga yang lebih aman. dan pelaksanaan proses belajar itu dilakukan tanpa menggunakan meja kursi atau duduk di lantai. Kondisi ini sangat tragis yang seharusnya peserta mendapat ilmu yang maksimal tetapi malah tertinggal dari sekolah normal pada umumnya.
2.    hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
Lembaga pendidikan hendaklah memperhatikan hak peserta didik sebagai konsumen di atas sehingga terjadi keberlangsungan pendidikan yang baik. Segala informasi yang dikeluarkan untuk menarik minat peserta didik haruslah dikemas dengan jujur, benar, dan akurat. Bukan malah sebaliknya, banyak sekolah atau lembaga yang menyebarkan brosur penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Terkadang lembaga pendidikan ini mengatakan dalam brosurnya itu bahwa lembaga ini bagus, mempunyai fasilitas yang lengkap, tetapi itu semua tidak sesuai dengan kenyataan yang ada pada lembaga tersebut. Lembaga pendidikan yang seperti itu tentunya akan di kenai UUPK ini.
3.    hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
Hak ini berkaitan dengan tenaga pengajar yang ada disekolah tersebut. misalnya saja kualitas pengajarannya yang pas - pasan di daerah terpencil yang membuat peserta didik sulit untuk bersaing dengan peserta didik yang berada di kota. Dan pendidikan yang ada di daerah terpencil itu kurang diperhatikan oleh pemerintah. Ada juga guru yang datang ke sekolah terlambat, padahal siswanya saja disuruh untuk tepat waktu. Seharusnya sebagai panutan itu bisa memberikan contoh yang baik pada peserta didiknya. Contoh lain yaitu guru yang seenaknya pada saat proses belajar mengajar merokok, itu merupakan contoh yang tidak baik, dan itu bisa saja ditiru oleh peserta didik. Bahkan asap yang ada di dalam kelas itu bisa membuat tidak nyaman dalam melakukan belajar.
4.    hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
Seperti yang sering terjadi akhir - akhir ini adalah kekerasan pada peserta didik atau siswa yang dilakukan oleh guru yaitu kekerasan yang berupa kekerasan fisik, contohnya memukul, menganiaya, dan kekerasan psikis seperti menghina, melecehkan, melontarkan kata yang menyakitkan perasaan, dll. Seharusnya sebagai penyelenggara pendidikan tidak sepatutnya melakukan hal - hal seperti itu, melainkan untuk melayani konsumen atau peserta didik dengan sebaik - baiknya serta tidak membeda - bedakan dengan yang lainnya. contoh lain yaitu pembanguan fisik sekolah - sekolah di wilayah perkotaan terus menjamur seiring dengan dikeluarkannya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) oleh pemerintah. Sayangnya perhatian pemerintah tentang pendidikan yang disalurkan lewat dana BOS tersebut tidak begitu nyata dirasakan dampaknya oleh masyarakat atau sekolah - sekolah di daerah pedalaman atau daerah terpencil. ini termasuk pelayanan yang kurang sesuai dengan aturan dan ini bisa saja disebut diskriminasi di sekolah - sekolah terpencil yang ada di Indonesia ini.
Dengan adanya pelanggaran hak – hak konsumen ini, seharusnya sebagai konsumen, kita bisa mendapat perlindungan yang sesuai dengan yang ada pada undang - undang perlindungan konsumen. Sebagai penyelenggara pendidikan, harusnya lebih memperhatikan kondisi sekolahnya dan bagaimana sarana dan prasarananya itu dapat menunjang proses belajar mengajar oleh peserta didik. sehingga peserta didik merasa nyaman dan dapat konsentrasi dalam belajar. Dan seharusnya pemerintah ini tidak melakukan diskriminasi pada sekolah – sekolah yang terpencil, dan memperhatikan bagaimana kondisi sekolah – sekolah yang kurang mendapat perhatian itu, sehingga sekolah – sekolah terpencil bisa bersaingan layaknya sekolah normal pada umumnya.

Minggu, 10 November 2013

makalah hukum perlindungan konsumen tentang pelayanan kesehatan



MAKALAH
Perlindungan Konsumen Di Bidang Pelayanan Kesehatan
Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah “Hukum Perlindungan konsumen

Dosen Pembimbing :
Zulfatun Nikmah, M.H
stain-3










Disusun oleh :
Kholifatun Nikmah     (3221113006)
Siti Milatul Ainiyah    (3221113014)
M. Harun Ismail          (3221113007)

SYARI’AH
HUKUM EKONOMI SYARI’AH / V
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sehat merupakan suatu keadaan yang didambakan oleh setiap orang. setiap orang mampu menjaga kesehatannya sendiri. Mereka akan hidup dengan teratur, mengkonsumsi makanan bergizi, berolahraga secukupnya, dan sebagainya.
Persoalan akan menjadi lain ketika orang jatuh sakit yang memerlukan pertolongan pihak lain. Bagaimanapun, kesehatan merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan, sedangkan pengetahuan dan ketrampilan pasien terbatas. Dengan demikian, pasien maupun keluarganya akan mencari pertolongan kepada petugas kesehatan.
Dalam hal ini, Pasien harus dipandang sebagai subyek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan bukan sekedar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa saja peraturan-peraturan yang mengatur tentang pelayanan kesehatan?
2.    Seperti apa contoh kasus perlindungan konsumen di bidang pelayanan kesehatan?
3.    Bagaimana bentuk penyelesaian sengketanya?










BAB II
PEMBAHASAN
A.  Peraturan – Peraturan Yang Mengatur Tentang Pelayanan Kesehatan
Dalam Perundangan-undangan pelayanan kesehatan Indonesia sudah sangat optimal dan mencakup semua layanan kesehatan. Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 disebutkan bahwa Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Faktor kesehatan merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari, dengan adanya tubuh yang sehat maka akan lebih nyaman dalam melakukan aktivitas. Pelayanan kesehatan masyarakat merupakan pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok kesehatan masyarakat ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasarannya untuk kelompok dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan di Indonesia masih jauh dari apa yang diperkirakan, karena masih banyak terjadi pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan aturan yang terjadi belakangan ini. Dalam kondisi demikian, konsumen pada umumnya belum mempedulikan atau belum mempunyai kesadaran tentang kesehatan. Sebagai contoh, masih banyak  pelayan kesehatan yang mengabaikan akan keselamatan konsumen atau pasien dengan alasan tertentu.
Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam memperoleh informasi, konsumen seringkali mengabaikan bahwa kesehatan itu penting. Meskipun demikian adanya, pemerintah sangat memperhatikan agar pelayanan kesehatan yang tersedia itu digunakan secara baik. Untuk mewujudkan hal itu perlu adanya suatu sistem pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang efektif di bidang pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan hal itu pemerintah membentuk aturan-aturan di bidang pelayanan kesehatan, diantaranya sebagai berikut:
1.    Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dinyatakan dalam pasal 4 ayat 1 yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. dan pasal 8 ayat (1).
2.    Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dijelaskan pada pasal 5 ayat (1), (2) dan (3).
3.    Undang Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, sesungguhnya ditegaskan bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penyelenggaraan kesehatan.
4.    Peraturan Presiden Republik Indonesia No.12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
5.    Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesiaa No. 634 Tahun 2002 bagian keempat mengatur tentang Penarikan Barang.
Menteri Kesehatan RI pernah melontarkan suatu kritikan yang sangat tajam terhadap iklan obat-obatan yang beredar di masyarakat, khususnya yang ditayangkan di televisi. menurutnya, semua iklan itu menyesatkan. Untuk melakukan pengawasan demikian, khususnya yang berkaitan dengan periklanan diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan (No. 252/Menkes/SKB/VIII/80 dan No. 122/Kep/Menpen/1980) tentang pengendalian dan pengawasan Iklan Obat, Makanan, Minuman, Kosmetika, dan Alat Kesehatan (OMKA).

B.  Contoh Kasus Perlindungan Konsumen Di Bidang Pelayanan Kesehatan
1.    Kasus Malpraktik dalam bidang Orthopedy Gas Medik yang Tertukar
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.
Kasus tersebut merupakan bentuk malpraktik pidana sebab telah melanggar beberapa aturan dalam KUHP untuk kelalaian yang berlaku bagi setiap orang, yang diatur dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP. Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.

2.    Kasus Penarikan Produk Obat Anti-Nyamuk HIT
Pada hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang di pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM.
Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk harus terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM. Ternyata pada kenyataanya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi tumpang tindih tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi tersebut.
Jika dilihat menurut Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kasus obat anit-nyamuk HIT tersebut menyalahi ketentuan. Berikut adalah beberapa pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dilangar oleh PT Megarsari Makmur sebagai produsen pbat anti-nyamuk HIT :
1.    Pasal 4, hak konsumen adalah :
o   Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”
o   Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”
2.    Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
o   Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
3.    Pasal 8
o   Ayat 1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
o   Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran”
4.    Pasal 19
o   Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”
o   Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
o   Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”

C.  Penyelesaian sengketa
penyelesaian sengketa dalam perlindungan konsumen dibagi menjadi dua yaitu:
1.    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
Penjelasan pasal 47 UU No.8/1999 menerangkan, bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Alternatif dalam menyelesaikan sengketa adalah:
·      Konsultasi
·      Negosiasi
·      Mediasi
·      Konsiliasi
2.    Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
Sengketa konsumen di sini dibatasi pada sengketa perdata. Masuknya sengketa atau perkara ke depan pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim melainkan karena inisiatif dari pihak yang bersengketa dalam hal ini penggugat baik itu produsen ataupun konsumen. Pengadilan yang memberikan pemecahan atas hukum perdata yang tidak dapat bekerja di antara para pihak secara sukarela.






BAB III
KESIMPULAN
1.    Peraturan - Peraturan yang mengatur tentang Pelayanan Kesehatan
Ø Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Ø Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Ø Undang Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Ø Peraturan Presiden Republik Indonesia No.12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
Ø Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesiaa No. 634 Tahun 2002 bagian keempat mengatur tentang Penarikan Barang
2.    Contoh Kasus
Ø Malpraktik dalam bidang Orthopedy Gas Medik yang Tertukar
Ø Penarikan Produk Obat Anti-Nyamuk HIT
3.    penyelesaian sengketa
penyelesaian sengketa dalam perlindungan konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan umum atau pnyelesaian diluar pengadilan.















DAFTAR PUSTAKA

o  Tri Siwi Kristianti, Celina, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
o  Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT Grasindo, 2006.
o  Sadar, M. Dkk. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia.Jakarta: Akademia. 2012.
o  http://definisimu.blogspot.com/2012/08/definisi-pelayanan-kesehatan.html