Pengelompokan
Ketentuan-Ketentuan UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
v
Ketentuan
berdasarkan Hukum Perdata
·
Pasal 4
Hak
konsumen adalah :
1. hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
9. hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
·
Pasal 5
Kewajiban
konsumen adalah :
a. membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
·
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
c. hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d. hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
·
Pasal 7
Kewajiban
pelaku usaha adalah :
a. beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
·
Pasal 8
ayat 2
Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
ayat 3
Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar.
·
Pasal 9
1) Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau
jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a. barang
tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. barang
tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang
dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesori tertentu;
d. barang
dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang
dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang
tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang
tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2) Barang
dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
3) Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
·
Pasal 10
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak
benar atau menyesatkan mengenai :
a. harga
atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan
suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya
penggunaan barang dan/atau jasa.
·
Pasal 16
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :
a. tidak
menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
b. tidak
menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
·
pasal 19
1. Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
·
Pasal 20
Pelaku
usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat
yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
·
Pasal 24
1. Pelaku
usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. pelaku
usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas
barang dan/atau jasa tersebut;
b. pelaku
usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai degan
contoh, mutu, dan komposisi.
2. Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli
barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan
atas barang dan/atau jasa tersebut.
·
Pasal 25
1. Pelaku
usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas
waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
2. Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a. tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b. tidak
memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
·
Pasal 26
Pelaku
usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati
dan/atau yang diperjanjikan.
·
Pasal 27
Pelaku
usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen, apabila :
a. barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
b. cacat
barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat
timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
contoh:
Saat itu saya membeli
sepatu dipasar, ketika tiba dirumah ternyata barang tersebut tidak sesuai
dengan pilihan saya. Padahal sebelumnya si penjual sepatu itu mengatakan kalau
barang tersebut bagus. Namun kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang
dikatakan. Karena sepatu tersebut antara yang kanan dan yang kiri berbeda
motifnya. Dan itu membuat saya kecewa. Karena saya kesal, akhirnya saya
complain atas apa yang terjadi kepada penjual untuk meminta pertanggungjawaban
dan mendapatkan ganti rugi. Awalnya si penjual tersebut tidak mau
bertanggaungjawab, tapi saya menjelaskan secara baik-baik akhirnya si penjual
tersebut mengerti dan mau memberikan kerugian dengan syarat saya harus menukar
barang tersebut dengan barang yang lainnya dan menambah biaya.
v
Ketentuan
berdasarkan Hukum Pidana
·
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan
melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan
:
a. menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b. menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c. tidak
berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
d. tidak
menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
e. tidak
menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud
menjual jasa yang lain;
f. menaikkan
harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
·
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan
atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus
dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud
untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,
dipromosikan, atau diiklankan.
·
Pasal 13
Ayat 1
Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan
tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
·
Pasal 14
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
a. tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan
hasilnya tidak melalui media masa;
c. memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti
hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
·
Pasal 15
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun
psikis terhadap konsumen.
·
Pasal 17
1. Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
a. mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak
memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar
etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2. Pelaku
usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
·
Pasal 18
1. Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila:
a. menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
c. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
2. Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
3. Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang
ini.
·
Pasal 22
Pembuktian
terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan
pembuktian.
·
Pasal 23
Pelaku
usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi
ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
·
Pasal 59
1. Selain
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
2. Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan
pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana
di bidang perlindungan konsumen;
c. meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa
tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
d. melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perlindungan konsumen;
e. melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan
penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
f. meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen.
3. Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
4. Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan
hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia.
·
Pasal 62
1. Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
2. Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf
f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
contoh:
A pernah
membeli motor bekas pada dealer motor bekas, setelah melihat dan mengecek di
tempat dealer tersebut tidak ada kendala dan A pun langsung melakukan transaksi sesuai yang
disepakati. Karena A kurang terlalu paham dengan mesin, namun ketika 2 hari
kemudian setelah motor yang A beli ternyata banyak kerusakan, dan teman A juga menanyakan tentang surat perjanjian
pembelian. Pada saat pembelian tersebut A tidak membuat surat perjanjian.
Sesuai dalam Pasal
8 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Jika pelaku
usaha melanggar Pasal 8 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, berdasarkan Pasal 62
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
v
Ketentuan
berdasarkan Hukum Administrasi Negara
·
Pasal 29
1. Pemerintah
bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
2. Pembinaan
oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
3. Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen.
4. Pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi upaya untuk :
a. terciptanya
iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b. berkembangnya
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. meningkatnya
kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
5. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
·
Pasal 30
1. Pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan
peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2. Pengawasan
oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri
dan/atau menteri teknis terkait.
3. Pengawasan
oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan
terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
4. Apabila
hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri
dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
5. Hasil
pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada Menteri dan menteri teknis.
6. Ketentuan
pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
·
Pasal 31
Dalam
rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
·
Pasal 32
Badan
Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
·
Pasal 33
Badan
Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen
di Indonesia.
·
Pasal 34
1. Untuk
menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a. memberikan
saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan
di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan
penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang perlindungan konsumen;
c. melakukan
penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d. mendorong
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e. menyebarluaskan
informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan
sikap keberpihakan kepada konsumen;
f. menerima
pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g. melakukan
survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
2. Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.
·
Pasal 35
1. Badan
Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili
semua unsur.
2. Anggota
Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
3. Masa
jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional
selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya.
4. Ketua
dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
·
Pasal 36
Anggota
Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur :
1. pemerintah;
2. pelaku
usaha;
3. lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
4. akademisi;
dan
5. tenaga
ahli.
·
Pasal 37
Persyaratan
keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a. warga
negara Republik Indonesia;
b.
berbadan sehat;
c.
berkelakuan baik;
d. tidak
pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di
bidang perlindungan konsumen;
f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)
tahun.
·
Pasal 38
Keanggotaan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena :
a. meninggal
dunia;
b. mengundurkan
diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat
tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit
secara terus menerus;
e. berakhir
masa jabatan sebagai anggota; atau
f. diberhentikan.
·
Pasal 39
1. Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu oleh
sekretariat.
2. Sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
3. Fungsi,
tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
·
Pasal 40
1. Apabila
diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di
Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
2. Pembentukan
perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan
keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
·
Pasal 41
Dalam
pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkerja berdasarkan
tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen
Nasional.
·
Pasal 42
Biaya
untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada
anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Pasal 43
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
·
Pasal 44
1. Pemerintah
mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
2. Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan
aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
3. Tugas
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
a. menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan
kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. memberikan
nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. bekerja
sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d. membantu
konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan
konsumen;
e. melakukan
pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen.
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
·
Pasal 45
1. Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
4. Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
·
Pasal 46
1. Gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang
konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk
badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah
dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit.
2. Gugatan
yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,
atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
3. Ketentuan
lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
·
Pasal 47
Penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen.
·
Pasal 48
Penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan
umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
·
Pasal 49
1. Pemerintah
membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
2. Untuk
dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. warga
negara Republik Indonesia;
b. berbadan
sehat;
c. berkelakuan
baik;
d. tidak
pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f. berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
3. Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha.
4. Anggota
setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya 3
(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
5. Pengangkatan
dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh
Menteri.
·
Pasal 50
Badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)
terdiri atas :
a. ketua
merangkap anggota;
b. wakil
ketua merangkap anggota;
c. anggota.
·
Pasal 51
1. Badan
penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sekretariat.
2. Sekretariat
badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat.
3. Pengangkatan
dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota secretariat badan penyelesaian
sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
·
Pasal 52
Tugas
dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau
arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan
konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan
pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan
kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang
ini;
e. menerima
pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan
penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil
pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
h. memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i. meminta
bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. mendapatkan,
meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan
dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan
putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
m. menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang
ini.
·
Pasal 53
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian
sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
·
Pasal 54
1. Untuk
menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa
konsumen membentuk majelis.
2. Jumlah
anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
3. Putusan
majelis bersifat final dan mengikat.
4. Ketentuan
teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat
keputusan menteri.
·
Pasal 55
Badan
penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan palinglambat dalam
waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
·
Pasal 56
1. Dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha
wajib melaksanakan putusan tersebut.
2. Para
pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
3. Pelaku
usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
4. Apabila
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh
pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut
kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
5. Putusan
badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat
6. merupakan
bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
·
Pasal 57
Putusan
majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan
eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
·
Pasal 58
1. Pengadilan
Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak
diterimanya keberatan.
2. Terhadap
putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
3. Mahkamah
Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
·
Pasal 60
1. Badan
penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20,
Pasal 25, dan Pasal 26.
2. Sanksi
administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
3. Tata
cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
·
Pasal 63
Terhadap
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan
barang tertentu;
b. pengumuman
keputusan hakim;
c. pembayaran
ganti rugi;
d. perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan
izin usaha.
contoh:
Misalnya
A memproduksi barang, namun ketika produk sudah dipasarkan, produk tersebut
menimbulkan bahaya bagi penggunanya atau konsumen. Maka kasus seperti itu produsen
harus menarik kembali produknya agar tidak diperjualbelikan atau bisa juga
dicabut izin pendirian perusahaan tersebut.